Selasa, 18 Januari 2011

Pengkajian Puisi Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar

Karawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegak hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa
Memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang dan Bekasi

Chairil Anwar
Pendekatan Biografis
Pendekatan biografis menurut Wellek dan Warren (1962:75) dianggap sebagai pendekatan yang paling tua. Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Pendekatan biografis sesungguhnya merupakan bagian penulisan sejarah sebagai historiografi. Sebagai anggota masyarakat, pengarang dengan sendirinya lebih berhasil untuk melukiskan masyarakat di tempat ia tinggal, lingkungan hidup yang benar-benar dialaminya secara nyata. Oleh karena itulah, seperti juga ilmuwan dari disiplin yang lain dalam mengungkapkan gejala-gejala sosial, pengarang juga dianggap perlu untuk mengadakan semacam 'penelitian' yang kemudian secara interpretatif imajinatif diangkat ke dalam karya seni. Oleh karena itu pula, dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam pengarang, yaitu:
a) pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung,
b) pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsur-unsur penceritaan, dan
c) pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi. Meskipun demikian, proses kreativitas pada umumnya didasarkan atas gabungan di antara ketiga faktor tersebut.
Biografi merupakan sedimentasi pengalaman-pengalaman masa lampau, baik personal, sebagai pengalaman ndividual, maupun kolektif, sebagai pengalaman intersubjektif, yang pada saat-saat tertentu akan muncul kembali. Tanpa sedimentasi, individu tidak dapat mengenali biografinya. Melalui sistem tanda, khususnya sistem tanda bahasa, sedimentasi pengetahuan ditransmisikan ke dalam aktivitas yang berbeda-beda. Moral, religi, karya seni dalam berbagai bentuknya, dan sebagainya, merupakan hasil seleksi sedimentasi pengalaman masa lampau. Makin kaya dan beragam isi sedimentasi yang berhasil untuk direkam, makin lengkaplah catatan biografi yang berhasil dilakukan.
Mengapa pendekatan biografis yang digunakan dalam pengkajian puisi Karawang-Bekasi? Karena puisi Karawang-Bekasi merupakan pengalaman yang dialami langsung oleh pengarang. Jadi puisi tersebut lebih tepat dikaji dengan menggunakan model pendekatan biografis. Seperti yang telah dijelaskan dalam konsep pendekatan biografis, bahwa dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam pengarang, yaitu: a) pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung, b) pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsur-unsur penceritaan, dan c) pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.

Sekilas tentang Chairil Anwar.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Setelah kedua orang tuanya bercerai,, setelah lulus SMA, Chairil ikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan dalam hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang sedih, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil seringkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rekannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Di sini, Chairil Anwar menuliskan syairnya tentang kejadian yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia melihat berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi, di mana ribuan anak-anak muda tewas silih berganti. Di sepanjang sungai Bekasi dan di atas jembatan laskar pemuda bertahan tanpa peduli teman-temannya bergelimpangan jatuh tak bernyawa. Chairil selalu terbayang dengan laskar-laskar pemuda yang melayang terpelanting jatuh, di lumpur-lumpur, di rawa-rawa, di atas jembatan dan di benteng-benteng sepanjang sungai, dan kemudian mati. Saat perang itu terjadi, Chairil langsung menuju pertahanan Bekasi dengan menumpang sebuah mobil palang merah yang penuh dengan prajurit yang terluka. Wajahnya nampak sangat terpukul dan teraniaya menyaksikan anak-anak muda yang bergelimpangan tidak bernyawa.
Pada suatu waktu Chairil mengembara di jalan-jalan ibu kota pada malam hari. Saat itu dia batuk dan sangat pucat, namun ia tak peduli. Dia selalu teringat dengan berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi yang pernah disaksikannya sendiri. Ketika Chairil mengingat-ingat kembali peristiwa itu, ia sedang berada di sebuah jembatan sungai Ciliwung, dimana di seberang jembatan tersebut terdapat restoran yang dipenuhi oleh para serdadu Belanda, opsir-opsir dan noni-noni Belanda sedang berdansa sambil makan dan minum. Langkah Chairil terhenti di ujung jembatan karena tiba-tiba teras restoran tersebut meledak oleh beberapa granat, dan beberapa opsi Belanda terjungkir ke dalam air. Pada saat itulah narasi Karawang-Bekasi terlantun dari bibir Chairil Anwar.

Pendekatan Historis
Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel sejarah. Sama dengan pendekatan yang lain, pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang. Pendekatan sejarah menelusuri arti dan makna bahasa sebagaimana yang ssudah tertulis, dipahami pada saat ditulis, oleh pengarang yang benar-benar menulis, dan sebagainya. Pendekatan hnistoris dengan demikian mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen social. Dengan hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya.
Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis, diantaranya sebagai berikut:
1. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang.
2. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3. Kedudukan pengarang pada saat menulis.
4. Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.
Pendekatan historis dipilih untuk digunakan dalam pengkajian puisi Karawang-Bekasi karena keseluruhan isi dalam puisi tersebut mewakili fungsi dan tujuan puisi tersebut dibuat. Yaitu, puisi tersebut berfungsi untuk mengenang jasa para pahlawan kita dan memberi pesan kepada kita agar kita meneruskan perjuangan para pahlawan dalam bidang apapun. Selain itu puisi Karawang-Bekasi ini cukup mewakili keadaan yang terjadi pada masa itu.
Chairil Anwar adalah pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia. Bahasa yang digunakan dalam syair-syairnya bernafas baru hangat, kuat, kental, dan sangat bersemangat. Itulah yang menjadikannya sebagai pelopor angkatan ’45. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, puisi Karawang-Bekasi ini memiliki fungsi dan tujuan yang sangat jelas, yaitu untuk mengingat jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk Negara kita dan mengingatkan kita untuk terus meneruskan perjuangan para pahlawan yang telah gugur. Puisi Karawang-Bekasi ini mewakili keadaan yang terjadi pada masa itu, di saat serdadu Belanda berusaha untuk menguasai Negara Indonesia kembali setelah kemerdekaan diperoleh dari tangan Jepang. Di saat perang terjadi di mana-mana, di Surabaya, Bandung, Semarang, dan lain-lain. Puisi ini sangat mewakili apa yang terjadi pada masa itu.